Keindahan aglaonema tak pernah ada batasnya. Stok silangan yang terproduksi dari lokal maupun impor, membuat kita tak pernah bosan dengan tanaman hias yang juga dikenal dengan nama sri rejeki ini. Namun pertanyaannya, bagaimana memilih aglaonema impor atau lokal yang baik dan apakah merawatnya semudah kita memilih tanaman ini di toko bunga?
Membeli tanaman idola memang gampang-gampang susah, termasuk membeli aglaonema. Sebelum membeli aglaonema, sebaiknya kita paham dengan barang yang akan dibeli. Sebab
pada dasarnya, beberapa aglaonema memiliki keunggulan dan ciri khusus, hingga tak jarang jika lengah berakibat pada penularan koleksi lain.
Saat ini, jika dispesifikasikan ada tiga kelompok besar aglaonema yang biasa didapat di pasaran, yaitu aglaonema lokal non silangan, lokal, dan impor silangan. Menurut Pakar Aglaonema Indonesia, Gregori Garnadi Hambali, sebenarnya ada lagi aglaonema lokal non silangan dari luar (umumnya dari Belanda dan Amerika). Hanya ketatnya birokrasi dan sistematika pindah tangan, membuat jenis ini sulit untuk keluar.
Terpenting adalah mengenal ciri yang ada pada beberapa golongan aglaonema tersebut. Selain berguna bagi proses pemeliharaan dan perawatan, tahap ini bisa meminimalisir kekecewaan pasca pembelian tanaman (karena cepat mati atau sering terserang penyakit).
Aglaonema silangan impor
Menurut Greg, jenis ini sering tampil dengan perwujudan yang fantastis.
Itu ditandai dengan kemunculan warna-warna yang kontras, seperti kuning dan merah sampai warna solid salah satunya. Karena kebanyakan dihasilkan dari kultur jaringan (mayoritas produk Thailand sebagai negara penekspor aglaonema terbesar ke Indonesia), umumnya jenis ini memiliki daun yang lebih tipis ketimbang hasil budidaya biji. Namun keistimewaannya, jenis ini memiliki struktur permukaan daun yang lebih halus.
Beberapa orang beranggapan, daun yang tipis bisa jadi tebal ketika dibawa ke Indonesia. Pengaruh musim, diduga melatar-belakangi perkembangan daun ini. Secara umum, dalam hal estetika aglaonema impor silangan unggul jauh. Hanya karena dibudidaya secara instan dan tak melalui metode pemuliaan yang panjang, tak jarang jenis ini rentan penyakit. Tak jarang, jenis ini juga disebut-sebut pembawa wabah penyakit yang siap menular ke aglaonema koleksi lain.
“Berhati hatilah memberi aglaonema impor. Jika ragu, gunakan sistem karantina yang cukup sampai dirasa aglaonema steril dari penyakit. Sistem karantina bermacam-macam, bisa menggunakan desin-sektan atau memberi spase tersendiri aglaonema yang baru datang,” ungkap Greg.
Untuk memastikan kesehatan tanaman, usahakan tak hanya melihat dari daun yang menarik, tapi juga akar dan batang bawah. Semakin banyak ditemukan kebusukan di akar dan batang bawah, makin tak sehat tanaman.
Aglaonema Lokal Silangan
Jenis kedua adalah aglaonema lokal silangan. Jenis ini biasanya lebih tahan banting bila dibandingkan dengan jenis impor. Tak mau kalah dengan jenis impor, jenis lokal silangan sangat kuat dalam hal komposisi warna. Gradasi warna dasar dan baru, membuat motifnya menarik. Contoh paling mudah dapat kita lihat dari aglaonema silangan fenomenal Pride of Sumatera (POS).
Daun yang tebal jadi keistimewaan selanjutnya, meski daun yang ada tak sehalus struktur daun jenis aglaonema selangan impor. Beberapa jenis juga sering rentan menderita sakit akibat virus. Penyusunan gen yang tak sempurna diduga jadi latar belakang fenomena ini. Namun secara umum, aglaonema silangan lokal jarang sakit seperti aglaonema silangan impor.
Meski berembel-embel lokal, jangan meremehkan dalam hal harga. Pasalnya, jika dilihat dari perputarannya hasil silangan pertama jenis ini bisa dihargai sampai Rp 50 juta. Ini yang sering terjadi pada koleksi Greg yang dipinang kolektor lain. Memilih jenis ini yang berkualitas pada dasarnya sama dengan aglaonema impor silangan. Daun, akar, dan batang bawah jadi sorotan yang harus tak terlewatkan. Usahakan melihat akar yang telah tertancap di pot. Semakin banyak dan jarang busuk adalah pertanda tanaman sehat.
Aglaonema Lokal
Jenis terakhir adalah aglaonema lokal. Meski dulu jarang dilirik dan keberadaannya hanya difungsikan sebagai indukan, tapi kini pencinta jenis ini kian marak. Bahkan tak mau kalah, pemilik aglaonema yang kebanyakan didominasi warna hijau dan putih ini sudah berani unjuk gigi dengan mendaftar setiap kontes aglaonema digelar.
Karena jika kita membicarakan warna, jenis ini kalah telak dengan jenis silangan lokal maupun impor. Umumnya, jenis ini memiliki keunggulan di bentuk daun. Daun besar dan aneka bentuk lancip adalah bentuk yang sering dijumpai pada aglaonema lokal. Karena sering dijumpai dan sudah familiar hidup di Indonesia, jenis ini banyak ditemukan di mana-mana dan berjumlah banyak, sehingga dalam hal harga jenis ini tergolong paling murah ketimbang dua jenis sebelumnya.
“Di pasaran, aglaonema lokal yang sudah berusia dewasa sering dijual maksimal Rp 500 ribu (untuk tanaman yang belum menang kontes). Jika sudah merasakan gelar, harga naik jadi dua kali lipat sekitar Rp 10 juta per pot,” jelas M Zainudin, Kolektor dan Pecinta Aglaonema Lokal di Banjarbaru Kalsel.
Jika melihat serangan penyakit dari virus dan bakteri, jenis ini paling tahan banting. Namun umumnya, jika melihat musuh alaminya, aglaonema lokal sering jadi santapan lezat serangga dan jamur, sehingga jika Anda memutuskan untuk membeli jenis ini, usahakan daun yang ada tak memiliki sedikit pun bekas jamur dan serangga atau telur-telur serangga yang biasa melekat. [adi]
Bedakan Lokal dengan Impor
Langkah ini diambil untuk membedakan mana jenis aglaonema lokal yang didatangkan dari luar negeri dengan proses kultur jaringan. Memang saat ini untuk aglaonema lokal mendapatkan apresiasi besar, terutama dari karya Greg Hambali. Namun masalahnya, produksi dalam negeri masih belum mampu memenuhi permintaan pasar yang besar.
Sebab dengan cara pengembang-biakan secara tradisional, maka untuk mendapatkan bibit baru membutuhkan waktu yang lama. Sementara untuk melakukan pembiakan masal dengan kultur jaringan masih sedikit yang bisa membuatnya. Padahal proses kultur jadi satu-satunya cara pembiakan secara masal dan celakanya pelaku industri tanaman hias lokal kurang bisa menangkap peluang ini. Akhirnya, mau tak mau Thailand jadi tujuan utama mencari produk aglaonema yang dihasilkan oleh anak bangsa.
Hasil aglaonema dari kultur jaringan melalui impor – meski dari jenis yang sama – tapi punya karakter berbeda. Untuk membedakan aglaonema lokal yang diperbanyak secara alami lewat stek maupun cangkok dengan aglaonema dari kultur jaringan, menurut M Siregar – Penghobi Tanaman Hias di Banjarmasin Kalsel, itu ternyata mudah. Wajar, karena bagi penghobi berpengalaman bukan hal sulit, tapi bagi pemula lain ceritanya.
“Paling gampang melihat struktur warna merah yang jadi ciri khas produk lokal,” tandas Siregar.
Untuk produk alami, warna merah yang muncul bisa cerah dan tegas, terutama untuk bagian belakang daun, tangkai daun, dan motif di permukaan daun. Kondisi ini berbeda dengan hasil dari kultur yang memiliki warna lebih pudar. Pudar di sini tetap memberikan kesan merah, tapi tak begitu cerah.
Selanjutnya yang paling mudah dilihat adalah dari ukuran daun yang lebih kecil dibandingkan jenis lokal. Pembanding ini sulit, karena harus melihat dulu aglaonema lokal. Namun bisa juga dilihat dari daun tua yang ada di bawah. Bila daun tua jauh lebih kecil dari daun baru, itu jadi ciri khas dari hasil kultur jaringan. Namun jangan khawatir bila mendapatkan produk kultur, karena saat tumbuh tunas baru, maka kualitas anakan akan sama dengan aglaonema lokal. Sebab, sudah melalui perbanyakan secara alami.
Menjadikan Aglaonema Berharga Mahal
Patokan harga tinggi untuk beberapa jenis aglaonema, tentu berkaitan dengan urusan tampilan maksimal. Selama ini keberadaan aglaonema impor bisa disejajarkan dengan jenis lokal. Hanya varian untuk jenis impor lebih beragam, sehingga kehadirannya makin memperkaya khasanah tanaman hias Tanah Air.
“Pada dasarnya, semua tanaman itu memiliki nilai ekonomi. Hanya untuk tinggi-rendahnya bergantung pada pesona yang ditampilkan,” imbuh Greg.
Untuk aglaonema jenis impor masih memegang kendali cukup kuat. Lantaran beragamnya jenis yang ditampilkan, sehingga konsumen pun mempunyai banyak alternatif untuk memilih, seperti harga aglaonema silangan dari Thailand yang memiliki nama pasar legacy, harga yang dipatok tergolong tinggi, yaitu Rp 500 ribu per tanaman atau bahkan harga ini bisa lebih tinggi.
Itu bergantung pada tampilannya, dimana semakin berkarakter tentu akan berpengaruh pada nilai jualnya. Ini berkaitan dengan nilai estetika, tren, dan kelangkaan. Sepertinya, membuat tanaman tampil prima bukan jadi satu hal yang sulit dilakukan, dimana tampilan yang maksimal akan berdampak pada tingginya nilai ekonomi. Ingin tahu kiat membuat pesonanya tampil ciamik, baik untuk aglaonema jenis lokal ataupun impor.
Khusus Penghobi
Ada beberapa kriteria yang diperhatikan untuk membuat tanaman berharga mahal dengan tampilan optimal. Utamanya adalah masalah kelangkaan, keunikan, terawatt, dan tren – dimana penghobi di sini sebagai end user yang menilai tanaman bukan hanya dari harga, tapi lebih ke pesona tanaman keseluruhan.
1. Langka
Faktor kelangkaan bisa memicu mahalnya tanaman. Kelangkaan ini bisa ditimbulkan dari sulitnya dikembang-biakan, masih sedikit yang menjual karena tak tren atau tanaman banyak, tapi penjualnya tak mau melepas. Jadi bisa dikategorikan sebagai langka di pasar dan langka, karena sulit dikembang-biakan.
2. Unik
Semua tanaman unik dan tak memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Tapi unik yang dimaksud adalah memiliki ciri khas mencolok dan berbeda dari aslinya. Di pasaran dikenal istilah variegata dan mutasi. Kadang ada juga yang menyebut albino. Kebanyakan tanaman yang variegata dihasilkan dari biji. Mutasi adalah kelainan yang terjadi, karena campur tangan alam (penyakit karena virus atau faktor bawaan lain) atau campur tangan manusia. Biasa dikenal dengan rekayasa genetik.
3. Perawatan Optimal
Tanaman yang terawat baik akan memiliki bentuk yang baik dan sehat. Karena terawatt, maka bentuk daun, batang, dan bunga jadi lebih indah. Tanaman yang mahal pun apabila tak terawat dengan baik akan berkurang nilainya. Misalnya, aglaonema yang daunnya rusak, pasti tak dihitung dalam penilaian. Itu berkaitan juga dengan keserempakan daun yang makin menambah nilai.
4. Membaca Tren
Seperti halnya fashion, tanaman punya tren sendiri. Saat tren turun, otomatis tanaman akan turun nilainya. Turunnya nilai bukan karena tanaman tersebut tak unik atau tak terawat, tapi mutlak karena hukum pasar.
5. Kenali Hukum Pasar
Saat sedang tren atau memang langka, maka persediaan biasanya tak sebanding dengan permintaan. Sesuai hukum pasar, maka naiklah harganya. Ini wajar terjadi di dunia tanaman hias, berputar sesuai dengan siklusnya.
Bagi Pedagang
Tak dapat dipungkiri, para pedagang lebih berharap pada profit oriented. Namun bukan berarti tak memperhitungkan kualitas barang. Inilah yang paling orang mau lakukan walau tak mudah melakukannya. Tanaman bisa dibuat jadi mahal apabila Anda mau mengerjakan hal-hal berikut:
1. Merawat tanaman dengan baik
Ini adalah mutlak. Tanaman yang terawat baik secara kasat mata akan indah. Walau hanya sekedar tanaman sansiviera yang biasa ada di pinggir jalan, kalau dirawat dengan baik pasti akan punya nilai yang lebih tinggi. Perawatan adalah dengan memberikan tempat yang baik (pot dan media), melakukan perawatan daun kalau tanaman itu punya nilai di daunnya, memberikan pupuk yang tepat, mengganti media saat dibutuhkan, dan terus mengecek kesehatan secara berkala. Dalam hal ini juga bisa dilakukan proses pembentukan, supaya bentuk lebih indah dan kompak.
2. Koleksi tanaman unik dan langka
Kadang tanaman jenis unik dan langka tak serta-merta harganya mahal saat membeli. Pemilihan tanaman unik bisa dilakukan dengan berkeliling di kebun pembibitan tanaman hias. Biasanya bibit unik bisa mulai terdeteksi saat usia seedling muda. Untuk tanaman langka bisa berburu langsung ke daerah yang bersangkutan. Tanaman langka biasanya sulit ditemukan di nurseri biasa. Kalau ada sedikit kenekatan dan modal, bisa saja langsung cari ke nurseri di luar negeri. Pembelian bisa lewat internet atau langsung ke lokasi.
3. Pintar prediksi tren tanaman
Dalam hal ini lebih mengandalkan kemampuan insting, yaitu dengan memperbanyak referensi tentang jenis tanaman, baik dari media ataupun komunitas yang banyak terbentuk di masing-masing kota. Hanya diperhatikan bahwa tren tanaman biasanya berputar. Jadi kalau ketinggalan tren – tak masalah – toh nantinya tanaman kita bisa terangkat naik
tabloidgallery
pic ; Aglaonema Legacy, koleksi Bp. Gede. S, diambil dari milis aglaonema
No comments:
Post a Comment
Silahkan Koment di kolom berikut ini, jadikan blog ini sebagai tempat sharing berbagi ilmu, terima kasih